Oleh : Yurnaldi Wartawan Utama, Pemimpin Redaksi MarwahMedia.com, dan Peneliti Tato Mentawai Tahun 1992-1993
MarwahMedia.com | Padang – Sumbar | Selasa, 05/09/2023 | – Ketika hiruk-pikuk soal calon wakil presiden di media mainstream, media daring, dan media sosial, ada satu hal menarik belakangan ini. Seorang warga Mentawai yang konon bermukim di Singapura, Juniator Tulius, tiba-tiba mengirim surat protes ke media daring. Dia minta agar Rekor MURI yang diraih Desa Muntei sebagai desa yang memiliki tato tertua dicabut.
Dalam protesnya, anehnya, dia mempersoalkan penelitian eksistensi Tato Mentawai yang dilakukan Ady Rosa(alm). Karena Ady Rosa sudah berpulang, dan penelitian itu dilakukan Ady Rosa bersama saya, Yurnaldi, maka tentu perlu saya jelaskan. Saya pikir perlu menjelaskan, karena dia seolah-olah paling tahu, paling hebat dan minta dia dihadirkan ke Jakarta untuk menjelaskan.
Saya pikir, ini orang mencari panggung dengan cara jalan pintas. Memprotes, tapi dia sendiri belum pernah melakukan penelitian. Logikanya, hasil penelitian tentu harus dibantah dengan hasil penelitian. Kalau hanya omongan doang, tentu tak layak dipercaya. Katakanlah ada penelitian dia, silakan tulis di media, ada halaman artikel/opini atau kirim ke jurnal nasional/internasional. Dan perlu diketahui, redaktur media terkemuka tak akan sembarang muat. Harus lolos penilaian sejumlah redaktur. Apalagi, misalnya, yang menulis kepakarannya tidak di bidang itu. Media akan sangat hati-hati, apalagi satu dasa warsa terakhir banyak merajalela informasi hoaks.
Ketika penelitian kami Ady Rosa dan Yurnaldi– lakukan tahun 1992-1993, di sejumlah desa di Pulau Siberut, belum pernah ada penelitian sebelumnya soal Tato Mentawai. Sementara kami mencemaskan, Tato Mentawai terancam punah. Penelitian yang bagi Ady Rosa, saat itu, untuk tesis S-2 di ITB dan bagi saya untuk publikasi di media (antara lain Kompas dan majalah Intisari). Dan ketika 30 tahun kemudian, 2023, ada yang protes, pembaca tentu mempertanyakan, siapa yang protes, ada latar belakangnya, mana hasil penelitian dia untuk membantah itu. Jika tak ada hasil penelitian terbaru dari dia, mana mungkin pembaca bisa percaya.
Dalam pertanyaan rilis Juniator yang dikutip Liputan6.com, Juniator mempertanyakan soal keberadaan Tato Mentawai yang kami teliti. Katanya dia sudah membaca hasil penelitian Ady Rosa. Kalau dia membaca tesis berjudul Eksistensi Tato Mentawai sebagai Salah Satu Karya Seni Rupa Tradisional Masyarakat Mentawai, tentu dia tak akan mempertanyakan soal keberadaan itu. Bukankah kata eskistensi itu maksudnya keberadaan?
Lalu Juniator bicara soal tato di daerah lain, pada etnik Dayak, Nusa Tenggara, dan daerah lain, bahkan negara lain. Kalau Juniator membaca penelitian lanjutan/riset unggulan Ady Rosa berjudul Fungsi dan Makna Tato serta Implikasinya pada Prilaku Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Asli (Adat): Kasus Mentawai dan Dayak, saya yakin Juniator akan mati kutu dan malu sendiri. Karena yang dia pertanyakan sudah ada dalam penelitian. Mungkin karena dia tidak ahlinya, tentu bacaannya terbatas.
Bayangkan, ketika dia membantah tato Mentawai bukanlah tato tertua, lalu dia bandingkan dengan tato pada Mumi di Mesir. Saya yakin, hasil penelitian tato Mentawai dalam tesis Ady Rosa setebal 348 halaman dan hasil penelitian riset unggulan setebal 277 halaman, tidak dia pahami. Sebab, keahlian Juniator tidaklah di bidang itu, kecuali sastra lisan Mentawai. Tahun berapa, sudah dijelaskan peneliti Anne Austin dan Marie-Lys Arnette dalam The Journal of Agyptian Archaeology pada tahun 2022 lalu, yakni keberadaan mumi itu 1300 SM hingga 1070 SM. Sementara keberadaan tato Mentawai yang didukung sejumlah temuan lain, keberadaannya sudah ada sejak 1500 SM.
Eksistensi tato Mentawai sebagai pewarisan dari masa prasejarah (neolitikum) dapat dibuktikan melalui sisa-sisa kebudayaan neolitikum yang masih hidup pada masyarakat Mentawai sekarang, di antaranya:
Pertama, masyarakat Mentawai dapat diduga sudah mulai menghuni Kepulauan Mentawai khususnya Pulau Siberut sekitar tahun 1500 Sebelum Masehi (SM) sampai 500 SM, pada masa penyebaran bangsa Proto Melayu ke Nusantara yang berasal dari Yunan di Cina bagian selatan, seperti pendapat Van Heekeren (1960), Duyvendak (1955), Koentjaraningrat (1982), Gerard Persoon (1985), dan Reimar Schefold (1991).
Keberadaan mereka pada masa neolitikum dibuktikan dengan adanya temuan mata kapak batu tahun 1970 di Pulau Siberut, seperti dilaporkan Reimar Schefold (1991).
Kedua, adanya kesamaan antara motif Dongson yang terdapat pada nekara dan motif tato serta pahatan kayu tradisional Mentawai dan motif-motif busana. Seperti motif tumpai pada nekara Dongson juga ditemui pada busana kabit (untuk upacara) yang terbuat dari kulit kayu. Busana ini merupakan salah satu pewarisan dari masa neolitikum, sebagaimana dijelaskan Van der Hoop (1949).
Ketiga, jenis makanan yang dikonsumsi masyarakat asli Mentawai adalah sagu, ubi, dan keladi, sama halnya dengan yang dikonsumsi bangsa Proto Melayu maupun Neo Melanesia di masa neolitikum, sebagaimana dijelaskan Heekeren (1960).
Keempat, bentuk arsitektur rumah masyarakat tradisional Mentawai yang disebut uma, juga mempunyai kesamaan seperti yang digambarkan Heekeren; Orang-orang Indonesia Purba membentuk masyarakat desa, pondok-pondok mereka berbentuk persegi siku-siku dan didirikan atas tiang-tiang kayu, dindingnya diberi hiasan dekorasi yang indah-indah.
Kelima, karya-karya seni rupa tradisional Mentawai tidak terlepas dari lingkup kepercayaannya, seperti hubungan antara tato dan Arat Sabulungan. Dengan demikian tato masuk ke dalam rumpun seni ritual
Atas dasar itu, jika dibandingkan dengan keberadaan tato tradisional lainnya, seperti tato tradisional Dayak dan tato tradisional Sumba, maka tato tradisional Mentawai adalah tato tertua di dunia yang keberadaannya sampai sekarang masih ada.
Keberadaan tato tradisional Mentawai dari segi motif tato, lebih tua bila dibandingkan dengan tato tradisional Dayak dan tato tradisional Sumba. Di mana tato tradisional Mentawai membuat motif didasarkan kepada usahanya untuk meniru obyek, seperti halnya lukisan-lukisan goa yang ada pada masa prasejarah.
Bila ditinjau secara historiografis munculnya tato tradisional Mentawai diperkirakan sudah ada sejak tahun 1500 SM, kalau dilihat dari awal penyebaran bangsa Proto Melayu ke Nusantara. Bila ini dijadikan patokan maka tato tradisional Mentawai adalah tato tertua di dunia. Sebab tato Mesir (Encyclopedia Americana, 1975) baru ada pada tahun 1300 SM, Siberia 300 SM, Britania 54 SM. Penyebaran tato juga mencakup di kawasan Indochina, kawasan Polynesia, Hawaii, Easter Island, Marques Island, dan Maori, New Zealand. Selain itu juga terdapat pada suku Indian Haida di pesisir barat Amerika, serta masyarakat Eskimo.
Jadi, kalau Juniator mengatakan bahwa penilitian Ady Rosa (dan juga saya, Yurnaldi) mengada-ngada, gagal menghadirkan bukti eksistensi tato Mentawai di masyarakat Mentawai, tidak ada fakta dan bukti-bukti yang menyentuh tato Mentawai sebagai yang tertua di dunia, tentu tak segampang itu orang percaya dengan omongan doang itu. Silakan buktikan dan paparkan hasil penelitian yang sebenarnya versi Juniator. Jika tak ada, saya yakin pihak media ke depan tak akan percaya dengan omongan Anda.
Dan terkait dengan permintaan Juniator kepada MURI untuk mencabut penghargaan MURI, menurut hemat saya tentu pihak MURI tak segampang itu dia percaya dengan seorang Juniator. Memangnya dia siapa? Apa dasarnya?
Kalau Desa Muntei diklaim Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai sebagai Desa yang memiliki Tato Tertua, ya boleh saja. Memang dari hasil penelitian kami banyak warga Muntei yang bertato tradisional Mentawai, walau bukan desa satu-satunya. Apalagi itu salah satu desa wisata, yang tentu, harus ada nilai jual yang menjadi daya tarik. Daya tarik wisata ke Mentawai di bidang budaya, salah satunya tato Mentawai, dan Desa Muntei yang relatif bisa cepat dijangkau wisatawan, itu yang jadi keunggulan dan nilai jual di banding desa lain yang jauh di pedalaman hutan.
Soal tato Mentawai mungkin bisa ambil contoh kekayaan budaya kuliner rendang. Ketika Rendang menjadi makanan terenak di dunia, orang sudah tahu itu pasti kuliner khas Minangkabau, Sumatera Barat. Kalau kemudian Payakumbuh klaim sebagai Kampung Rendang (dengan 30 varian), ya sah-sah saja. Orang pun tahu, setiap daerah di Sumatera Barat, kecuali Kabupaten Kepulauan Mentawai, punya kuliner rendang dengan keunggulan masing-masing. Tapi, sampai sekarang, tak ada yang protes.
Mungkin sama halnya dengan tato. Banyak daerah dan banyak negara yang warganya bertato, namun ketika tato Mentawai dari hasil penelitian sebagai tato tradisional tertua di dunia, daerah dan negara lain tak ada protes (sejak hasil penelitian dipublis sejak 31 tahun lalu). Dan ketika Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai ajukan Desa Muntei dengan kekayaan budaya tato tradisional dengan tato tradisional tertua untuk meraih rekor MURI, boleh dan sah saja.
Pihak MURI tentu punya tim penilai dan punya referensi untuk menetapkan sesuatu. Kalau protes dari seorang warga bernama Juniator, yang argumentasinya tak bisa dipertanggungjawabkan, mana mungkin akan menjadi perhatian dan bisa mengubah keputusan. Apalagi minta diundang pula untuk berikan penjelasan. Kalau memang ada kepentingan dan/atau tujuan tertentu, datang sendiri saja. Demo/unjukrasa belum tentu bisa mengubah keputusan, apalagi hanya dari sebuah rilis berita dari seorang saja. Kalau punya opini yang argumentatif, silakan tulis di media.**(Yurnaldi)