Oleh Yurnaldi
Wartawan Utama, Pimred MarwahMedia.com
MarwahMedia.com | Indonesia | Rabu, 25/10/2023 | – Koalisi Prabowo Senin (23/10) umumkan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden. Walaupun sebelumnya sebagian besar masyarakat/pembaca pro dan kontra tentang Gibran, Prabowo tetap bersikukuh memilih Gibran. Ini sebuah langkah fenomenal menurut saya. Walaupun banyak yang menilai Gibran masih “anak ingusan”. Pengalamannya masih ”seumur jagung” kalah jauh dengan bakal calon lainnya dan/atau pengalaman ketua partai lainnya yang berkoalisi dengan Gerindra. Jika dibandingkan dengan Yusril Ihza Mahendra, Amien Rais, dan/atau Agus Harimurti Yudhoyono, misalnya, maka Gibran belum ada apa-apanya. Akan tetapi ironiknya, kenapa tokoh-tokoh partai itu seperti manut saja dengan kemauan Prabowo?
Apa karena Prabowo ingin mengambil keuntungan dari keluarga Presiden Jokowi yang masih berkuasa hingga 2024? Atau, siapa tahu, ada perjanjian antara Jokowi dan Prabowo –yang hanya mereka berdua yang tahu, yang dulu sama-sama bersaing Pilpres 2019?
Banyak juga yang mempertanyakan, kenapa Presiden Jokowi terkesan mendukung Prabowo dibandingkan dengan mendukung capres dari PDIP, Ganjar/Mahfud. Padahal, PDIP adalah partai yang mengusung Jokowi sebagai presiden dulunya. Bisa jadi Presiden Jokowi membalaskan “sakit hati” karena hampir selalu disebut sebagai “petugas partai”. Padahal Jokowi adalah kepala negara.
Implikasi dari sebutan petugas partai itu, citra Jokowi sebagai kepala negara terkesan “direndahkan”. Jokowi bagaikan boneka yang bisa dikendalikan oleh Megawati. Ini jelas tidak elok.
Terlepas dari persoalan tersebut di atas, bisa jadi Prabowo beserta pimpinan partai yang tergabung koalisi Prabowo, punya analisa data Pemilih Pemilu 2024. Bila kita cermati data jumlah Pemilih Pemilu 2024 yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, maka jumlah pemilih berdasarkan usia gambarannya sebagai berikut: jumlah pemilih Gen Milenial (lahir 1981-1996) dan Gen Z (lahir 1997-2012) adalah yang terbesar, yakni 68.822.389 orang (Gen Milienial) dan 46.800.161 orang (Gen Z). Sedangkan pemilih usia lainnya tak begitu banyak, yakni Pre Boomer (lahir sebelum 1945) hanya sebanyak 3.570.850 orang, Baby Boomer (lahir 1946-1964) sebanyak 28.127.340 orang, Gen X (lahir 1965-1980) sebanyak 57.486.482 orang.
Generasi Milenial dan Gen Z, karena berusia relatif muda, diyakini memilih anak muda pula. Mungkin atas dasar itu Prabowo memutuskan untuk menggandeng Gibran.
Lantas apakah otomatis yang muda akan memilih calon wakil presiden yang muda usia pula? Saya kira tak segampang itu pula kesimpulannya. Banyak hal yang menjadi faktor penentu seseorang untuk menetapkan pilihannya. Di satu pihak, pemilih pemula (first time voters) relatif memiliki pengaruh penting dalam Pemilu 2024 mendatang.
Pemilih usia 17 hingga 30 tahun sebanyak 63.953.031 orang atau 31,23 persen, sementara pemilih usia 31 hingga 40 tahun sebanyak 42.398.719 orang atau 20,70 persen. Maka suara mereka sudah hampir 52 persen jika digabungkan.
Jadi siapa pun yang mau menang, atau kalau mau memilih pemimpin yang membawa perubahan yang baru, ya mereka harus bisa meraih suara teman-teman muda karena signifikan.
Jika kita cermati media sosial dan pemberitaan media massa, terlihat pemilih pemula ini memiliki antusiasme tinggi terhadap pemilu.
Awalnya, pemilih pemula mudah dipengaruhi oleh orang terdekat seperti anggota keluarga dan juga sosial media. Namun mereka kini mulai semakin rasional meskipun isu-isu yang disukai belum semuanya muncul ke permukaan.
Pemilih muda dan teman-teman muda sebetulnya yang ditunggu gagasan atau isu. Mereka bukan apatis kok, mereka concern sama isu antikorupsi misalnya, isu lingkungan, atau yang lainnya.
Karena itu, kita mendorong agar penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU menciptakan iklim yang menyenangkan dan transparan dalam menyambut Pemilu 2024. Pemerintah harus aktif melakukan sosialisasi kepada para pemilih pemula. Dengan begitu, anak-anak muda mampu menjadi pemilih yang cerdas.
Yang perlu didorong adalah bagaimana mereka mendapatkan informasi komprehensif terkait Pemilu ini. Karena untuk bisa meningkatkan partisipasi perlu ada transparansi, jadi harus setransparan mungkin informasi yang dibuka.
Tentang pemilih pemula itu, ada hasil penelitian yang menarik disimak. Menurut Rahmat Fadhli, peneliti dan PhD Student in Computing and Information Systems, The University of Melbourne, hampir sebagian besar kelompok pemilih ini tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang informasi politik–yang mencakup kandidat, partai politik, maupun hal-hal teknis terkait penyelenggaraan pemilu secara keseluruhan (theconversation.com).
Ini membuat mereka rentan akan terpaan informasi politik yang berlimpah dari berbagai sumber. Apalagi pemilih pemula termasuk dalam kelompok digital natives–terbiasa dengan penggunaan teknologi dan berinteraksi secara virtual. Mereka juga sangat terbuka untuk mempelajari hal-hal baru.
Menjelang Pemilu 2024 fase ini, salah satu tantangan besar yang akan mereka hadapi sebagai pemilih adalah infobesity atau information obesity (obesitas informasi) yang membuat mereka menampung terlalu banyak informasi (information overload) dalam konteks politik. Ini kemungkinan besar akan membuat mereka kewalahan dalam menyaring informasi.
Masalah akan muncul jika infobesity “terkontaminasi” dengan berita-berita palsu–hal yang tampaknya akan sulit dihindari selama tahun politik.
Masyarakat Indonesia berpotensi lebih rentan terpapar infobesity karena memiliki budaya kolektivitas, yakni dorongan untuk saling berbagi informasi melalui platform yang dimilikinya. Terlebih lagi, penelitian menunjukkan bahwa generasi muda cenderung membagikan informasi tanpa terlebih dahulu mengetahui kebenaran ataupun mencari kebenaran informasi yang mereka dapat tersebut.
Tingginya jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia dan beragamnya platform digital turut berkontribusi pada tingginya jumlah informasi yang diproduksi dan dibagikan.
Meskipun masyarakat sudah terbiasa mendapatkan banyak informasi dalam kehidupan sehari-hari, situasi ini perlu menjadi perhatian khususnya menjelang tahun politik.
Ini karena, berkaca dari kontestasi politik periode-periode sebelumnya, media sosial memiliki dampak yang besar untuk menggiring opini publik. Selain sebagai media penyebaran informasi, media sosial juga menjadi sebagai salah satu alat untuk mobilisasi pemilih, kampanye, dan ruang diskusi, sehingga mudah disalahgunakan sebagai alat propaganda.
Dengan kata lain, media sosial juga dapat menyumbang infobesity, dan ini cukup berbahaya karena informasi yang beredar sudah bercampur dengan informasi yang tidak sesuai fakta (hoaks, berita palsu dan disinformasi).
Ini patut diwaspadai utamanya bagi para pemilih muda, yang umumnya termasuk dalam kategori pemilih yang mudah berubah-ubah pilihannya dan masih ragu dalam menentukan pilihan (biasa disebut undecided voters dan swing voters).
Yang jadi masalah, meskipun mayoritas pemilih pemula adalah digital natives, tidak semuanya memiliki kemampuan berpikir kritis terhadap informasi yang mereka terima.
Salah satu penelitian tentang bagaimana sikap generasi Z terhadap informasi yang beredar selama masa Pemilihan Gubernur Provinsi Jawa Barat Tahun 2018 menemukan bahwa pemilih muda cenderung mudah percaya atas informasi yang mereka dapat dan mudah terprovokasi untuk ikut berkomentar di konten-konten penggiringan opini publik.
Artinya, kelompok ini kurang memiliki keterampilan mengevaluasi informasi yang diterimanya secara kritis. Kedekatannya dengan media sosial juga membuat pemilih pemula menjadi kelompok pertama yang terpapar informasi politik dibandingkan kelompok lainnya. Pada akhirnya, kelompok ini rentan dipengaruhi oleh informasi yang keliru/hoaks yang beredar di lingkungan digital mereka.
Pemilih pemula biasanya belum memiliki pengetahuan yang memadai tentang proses politik, isu-isu politik atau sekadar informasi terkait kandidat maupun partai politik jika dibandingkan generasi yang lebih tua.
Untuk mendapatkan informasi politik, pemilih pemula biasanya melakukan pencarian melalui media sosial dan saluran digital lainnya sebagai sumber utama, sementara sumber sekundernya bisa dari forum publik, podcast, televisi, dan diskusi internal.
Namun, satu hal yang hampir pasti, lingkungan sekitar dapat berperan besar dalam memberikan informasi politik, yang kemudian juga membentuk preferensi politik para pemilih tersebut. Dalam hal ini, institusi pendidikan seperti sekolah maupun perguruan tinggi sebenarnya dapat mengambil andil untuk memberikan informasi politik, paling tidak tentang literasi media dan literasi informasi.
Contohnya, sekolah dapat dapat mengajarkan keterampilan digital dalam mengindentifikasi berita palsu dan sumber informasi yang dapat dipercaya, bisa bekerja sama dengan perpustakaan, penggiat literasi digital maupun dinas terkait untuk memberikan keterampilan literasi bagi pemilih pemula.
Pelatihan keterampilan literasi ini penting untuk menghindarkan pemilih pemula akan dampak buruk atau paling tidak untuk mempersiapkan mereka menghadapi infobesity. Dengan literasi ini, diharapkan para pemilih pemula mampu menyaring, menemukan dan memilih informasi-informasi yang benar dan berkualitas.
Institusi pendidikan juga dapat menyelenggarakan forum diskusi politik secara terbuka. Adanya forum diskusi tentang isu politik kontemporer secara langsung dapat meningkatkan kesadaran dan pengetahuan pemilih pemula.
Pemerintah harus mampu menjadi pusat informasi politik yang dapat diandalkan, jelas, mudah dipahami, dan menarik bagi pemilih pemula.*